ADAT DAN BUDAYA ASLI OSING BANYUWANGI
Budaya dan agama seringkali sulit disatukan. Banyak elemen budaya
yang dianggap bertentangan dengan norma-norma agama. Ada beberapa
akibat yang menyertainya. Nilai-nilai budaya perlahan-lahan
ditinggalkan, atau muncul konflik antara pemegang nilai adat dan norma
agama, atau malahan terjadi pembauran antara agama dan budaya. Hal
terakhir inilah yang terjadi di dalam masyarakat Osing di Banyuwangi.
Orang Osing adalah masyarakat asli Banyuwangi. Mereka pengikut setia Kerajaan Blambangan sehingga mereka tetap
bertahan di Banyuwangi setelah Blambangan jatuh akibat pengaruh kerajaan
Islam pada abad ke-14. Walaupun demikian, tetap ada para pengikut lain
yang migrasi ke Bali bersama pengikut Kerajaan Majapahit. Mereka
mempertahankan nilai-nilai agama Hindu di Kerajaan Karang Asem.
Dulu masyarakat Osing menutup diri dengan dunia luar untuk
mempertahankan agama Hindu di Blambangan. Namun ketika Belanda masuk
pada abad ke-16, mereka memaksa orang Osing bekerja sama dengan orang
luar. Pengaruh luar mulai masuk dan pada perkembangannya sebagian besar
orang Osing lalu memeluk agama Islam. Bahkan banyak yang menikah dengan
orang luar Osing dan menyebar ke berbagai daerah. Namun masyarakat Osing
yang tetap bertahan, masih setia dengan adat istiadat Osing, meskipun
agama Islam juga kuat di sana.
Maka terjadilah pembauran adat dan agama. Pada hari raya Idul Fitri,
mereka mengadakan perayaan adat seminggu penuh. Di sebuah desa,
Ulehsari, rangkaian perayaan Idul Fitri juga termasuk acara bersih desa
yang mereka kenal dengan sebutan Seblang. Ritual ini untuk mencapai
keselarasan antara alam dan manusia, sehingga rakyat makmur dan
terhindar dari malapetaka. Termasuk juga keselarasan dengan roh-roh yang
menghuni desa.
Masyarakat Osing yang tinggal di desa Kemiren memiliki kegiatan rutin
membaca lontar. Lontar yang berisi kepercayaan-kepercayaan Osing ini
ditulis dalam bahasa Arab. Banyak orang yang merasa terbantu masalahnya
setelah membaca lontar tersebut. Menurut Pak Pur, salah seorang tokoh
Osing dari desa Kemiren, tidak ada yang perlu disalahkan jika masyarakat
Osing merasa aman, nyaman, dan terbantu persoalannya dengan tradisi
yang ada di Osing. Agama dan adat tetap dapat berjalan seiring, yang
penting tidak ada yang mau menangnya sendiri.
Di negara multikultural seperti Indonesia, tampaknya memang perlu
dikembangkan kesadaran tentang relativisme budaya. Penting untuk
menanamkan pemikiran tentang menghargai budaya lain yang memang memiliki
esensi sendiri. Budaya adalah nilai-nilai yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Setiap budaya
itu berharga. Dan budaya tertentu tidak dapat menilai atau menghakimi
budaya lain, merasa menjadi budaya yang paling benar dan paling tinggi.
Karena banyak kearifan budaya lokal yang justru bernilai untuk menjaga
kehancuran alam semesta ini. Bukankah hutan-hutan gundul di negeri kita
akibat masuknya perusahaan-perusahaan penebangan besar itu? Masyarakat
adat pun menebang pohon dan berladang di hutan, namun mereka memiliki
mekanisme sendiri untuk mempertahankan kesuburan tanah. Semua diatur
dengan nilai-nilai adat sehingga kelangsungan alam tak terusik.
Melihat masyarakat Osing, saya menjadi tetap berani bermimpi, masih
dapat melihat Indonesia yang multikultural empat puluh tahun lagi
Wisata
banyuwangi-Jaman boleh terus bergulir, namun tidak demikiandengan pola
dan gaya hidup Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Banyuwangi.Desa
yang berjarak sekitar 7 Km arah barat dari pusat Kota Banyuwangi itu,
masih menjaga adat istiadat warisan leluhur mereka. Tak heran jika
Pemerintah Kabupaten banyuwangi sekitar tahun 1995 menetapkan desa yang
berpenghuni 2663 jiwa tersebut sebagai Desa Wisata Adat.Banyak
adat Using yang masih lestari dan dipertahankan warga yang sebagian
besar hidup dari bercocok tanam ini. Seperti bangunan rumah masih
beraksitektur Gebyug, rumah adat Using yang memeliki ciri khas serta
mempunyai filosofi kehidupan dalam berumah tangga.Kecuali itu, pola bertani tradisonal seperti menggunakan baling-baling kayu untuk mengusir hama masih dilakukan.
Upacara
perkawinan masih menggunakan tatanan adat yang diturunkan secara turun
temurun, semisal upacara lamaran manten dan kirab keliling kampung yang
saat ini sudah jarang ditemui dikawasan Kota Banyuwangi.Tak
ketinggalan menariknya,warga setempat memiliki beberapa acara adat yang
diselenggarakan rutin tiap tahun, semisal Tumpeng Sewu atau biasa
disebut warga 'Selamatan Bersih Desa' yang dilaksanakan pada hari Senin
atau Hari Jumat awal di Bulan Haji.Selain
memegang teguh adat istiadat dalam kesehariannya, warga Desa Kemiren
yang kesemuanya mayoritas beragama Islam ini juga patuh pada ajaran
agamanya.Hubungan
sosial antar warga terjalin secara kuat. "Jika ada hajatan
tetangga,kami semua berduyun-duyun urun rembug materi atau sekedar
tenaga," terang Pak Timbul, sesepuh Desa Kemiren.Sifat
warga yang cenderung terbuka, ramah membuat nyaman siapa saja yang
berkunjung atau bahkan menginap ke Desa Kemiren ini. Tak kurang dari
puluhan wisatawan tiap bulannya berkunjung untuk belajar kearifan
tradisional Suku asli Banyuwangi ini.
"Jika ingin berkunjung pintu rumah kami terbuka lebar bagi siapa saja,"
jelas Anak Agung Tahrim, Kepala Desa Kemiren.Banyak
sanggar-sanggar seni yang menjadi tempat belajar bagi tiap wisatawan,
tak perlu bingung tempat untuk berteduh. Sebab lanjut Tahrim sebab
hampir semua warga secara suka rela akan mempersilahkan pengunjung untuk
tinggal di rumahnya.Bahkan
menginap untuk jangka waktu yang cukup lama, seminggu atau bahkan
sebulan. "cukup bantu kami uang belanja mas," lanjutnya.Kentalnya
Budaya dan Adat di Desa Kemiren semakin lengkap dengan balutan suasana
Desa yang masih Asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh .Sungai-sungai
masih mengalir dengan kejernihan air asli pegunungan membelah areal
persawahan yang mengelilingi Desa. Jalan Desa pun sudah beraspal meski
tidak semulus jalan di pusat Kota.Ditengah
desa terdapat Anjungan Wisata seluas 1800 M2 yang awal pendiriannya
sebagai pusat ajang kegiatan kesenian khas Using seperti Tari Gandrung
maupun Barong. Anjungan itu kini menjadi tempat rekreasi konvensional
dengan dua kolam renang yang menjadi andalannya.
Untuk
terus menjaga kelestarian warisan nenek moyangnya, Pemerintah Desa
menerbitkan Peraturan Desa atau Perdes tentang pelestarian Adat yang
sifatnya hanya mengatur. Termasuk keberadaan Kelompok Sadar Wisata
(PokDarWis) yang akan melayani dengan ramah kedatangan para wisatawan.Meski
begitu bagi warga Suku Using di Desa Kemiren adat istiadat adalah
pustaka leluhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai
penghormatan pada nenek moyangnya. Mereka percaya jika adat istiadatnya
diabaikan maka desa mereka terancam marabahaya.Wisata banyuwangi Surga Dunia..
Readmore »»
Merupakan oleh-oleh khas Banyuwangi yang berbentuk kue kering dan berbahan dasar tepung sagu. Kue
bagiak khas Banyuwangi ini rasanya tidak sekeras bagiak dari Maluku, malah
lebih mirip kue semprit dengan aroma rempah keningar. Komposisi yang disebutkan
adalah tapioka, gula, dll. Tersedia dalam 4 macam rasa : keningar, jahe,
kacang, susu.
Makanan ini adalah makanan khas lainnya dari Banyuwangi. Nasi dengan
sayur yang terbuat dari kelapa diparut dengan sambal/gecok, konon ini
adalah menu favorit Syekh Siti Jenar. Nasi ini cocok digunakan untuk
menu sarapan.
Sale pisang merupakan makanan / jajanan khas Banyuwangi.
Ada dua macam sale pisang, yaitu sale pisang goreng tepung dan molen
sale pisang. Sale pisan adalah makanan hasil olahan dari buah pisang
yang disisir tipis kemudian dijemur hingga kering. Sale pisang di
produksi di Kelurahan Klatak (Kalipuro), Lateng,
Singonegaran, Kebalenan, Penganjuran, Mojopanggung, Kecamatan Glagah,
Songgon,
Sukonatar,Bangorejo, Buluagung, Siliragung, dan lain sebagainya.
Sama halnya seperti rujak soto, makanan ini merupakan
campuran antara rujak cingur dengan bakso. Rujak disajikan terlebih dahulu lalu
disiram denga kuah bakso.
Adalah salah satu makanan khas Banyuwangi. Rujaknya seperti rujak Jawa Timur-an umumnya, yaitu irisan
lontong dibubuhi kangkung, tauge, ketimun, tahu, dan tempe, dibubuhi sambal
petis dengan kacang tanah dan gula merah. Seperti rujak Jawa Timur umumnya,
sambalnya memakai pisang kluthuk batu yang diuleg bersama bumbu-bumbu lainnya. Rujak
segar itu kemudian diguyur dengan kuah soto babat yang encer dan berwarna
kuning.
Pedas, adalah ciri khas menu masakan Banyuwangi ini. Nasi
ini semacam dengan nasi lalapan yang khas dari kota Banyuwangi.
Bedanya, terletak di sambalnya yang terasa sangat pedas. Kenapa
dinamakan Sego Tempong (tempeleng)? karena setelah makan sego tempong
rasanya seperti ditempeleng karena pedas. Bagi anda pecinta masakan
pedas, anda harus mencoba makanan yang satu ini.
Pertunjukan Gandrung Banyuwangi
Penari Gandrung bersama gamelannya (foto diambil tahun 1910-1930)
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
[1]. Kesenian ini masih satu
genre dengan seperti
Ketuk Tilu di
Jawa Barat,
Tayub di
Jawa Tengah dan
Jawa Timur bagian barat,
Lengger di wilayah
Banyumas dan
Joged Bumbung di
Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan
musik (
gamelan).
[butuh rujukan]Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali.
[butuh rujukan] Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
[2]
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah
Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau
Jawa,
dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah
jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya,
Banyuwangi sering dijuluki
Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan,
pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak
resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut
kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan
berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Sejarah
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan
“Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik
sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian
antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya
antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling
ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan
sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka
membawanya di dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab
“Gandrung Lelaki”).
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan
cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung
semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi
berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari
berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat
Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang
jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu
penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767
untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya
perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada
tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri,
tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh
Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal
sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat
memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan
banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para
janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu)
dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain.
Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.
Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari
penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya.
Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan
sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya
sangat memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik
mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan
hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah
usai.
Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang
memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis
beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni
pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7
Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah
menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff
telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan
amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga
dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan
anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil
melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang
dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk
sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti;
Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap
keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya
[3].
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan
yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi
tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup
bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih
menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian
mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk
kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum
yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas
Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama
Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad
(Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan
kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah
dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan
Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung
Semi,
seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada
tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita
penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun,
namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (
Mak Midhah)
bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung
sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak
ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan
seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para
lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte
(1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini
adalah kendang. Pada saat itu,
biola
telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari
Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam
melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan.
Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914,
setelah kematian penari terakhirnya, yakni
Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran
Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
[4]
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh
adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai
nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero
Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya
boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun
sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan
gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber
mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin
terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata Busana Penari
Penari Gandrung di
Lombok, 1922.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (
Kerajaaan Blambangan) yang tampak.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru
berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik
yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada,
sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian
leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai
penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan
satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan
sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya.
Selendang selalu dikenakan di bahu.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut
omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh
Antasena, putra
Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen
Antasena
ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti
sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini
kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang
berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada
tambahan ornamen bunga yang disebut
cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang
hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam.
Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus
adalah batik dengan corak
gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan
dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas
Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus
kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus
kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas
untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah
kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya,
khususnya dalam bagian
seblang subuh.
Musik Pengiring
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah
kempul atau
gong, satu buah
kluncing (
triangle), satu atau dua buah biola, dua buah
kendhang, dan sepasang
kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi
panjak atau kadang-kadang disebut
pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran
panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan
saron Bali,
angklung, atau
rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi
electone.
Tahapan-Tahapan Pertunjukan
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
- jejer
- maju atau ngibing
- seblang subuh
Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada
bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo,
tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
Maju
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan
selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah
yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya
para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan
penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu
yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda,
dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa
nafsu.
Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan
meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan.
Acara ini diselang-seling antara maju dan
repèn (nyanyian yang
tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang
subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang
disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga
perkelahian tak terelakkan lagi.
Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan
gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat
sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari
yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang
dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali
sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya
seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual
seblang,
suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski
sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa
sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya
bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.
Perkembangan terakhir
Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus
globalisasi,
yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD
hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah
satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan
sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu
wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang
sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti
dangdut dan
campursari.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan
Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas
Using
yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan
kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah
masyarakat
Using.
[5]
Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau
citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial
tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah
perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang
tidak pantas, tersudut, terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam
kehidupan sehari-hari
[6].
Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata
Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi
juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat
seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika
Serikat
[7].